
Wartajakarta.com-Puisi esai bukan sekadar genre baru. Tetapi batasan kandungan puisi esai, yang digariskan oleh Denny JA, juga sejajar atau seiring dengan yang dicari panitia penghargaan Nobel Sastra. Yaitu, mengangkat tokoh yang memperjuangkan faktor kemanusiaan tanpa diskriminasi, dan inovasi kemakmuran.
Hal itu ditegaskan Datuk Jasni Matlani, Presiden Badan Bahasa dan Sastra, Sabah – Malaysia, sebagai narasumber dalam Webinar di Jakarta, Kamis (20/1). Webinar itu diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia, SATUPENA. Pemandu diskusi adalah Swary Utami Dewi dan Elza Peldi Taher.
Menurut Datuk Jasni Matlani, Panitia Nobel mencari pemenang Nobel dari kalangan mereka yang melakukan riset, menciptakan teknik baru dan luar biasa, serta memberikan sumbangan besar kepada masyarakat.
Semua ciri ini sukses dikerjakan oleh Denny JA, baik dalam karya sastra maupun gerakan perjuangannya. “Maka, jika ada prediksi atau ramalan bahwa Denny JA dicalonkan untuk hadiah Nobel Sastra, itu wajar saja,” tutur Datuk Jasni, yang juga Presiden Komunitas Puisi Esai ASEAN.
Datuk Jasni mengakui, dalam proses perjuangan memajukan puisi esai, sudah pasti Denny JA dan puisi esai mengalami pasang surut. “Namun, proses itu berkelanjutan, sehingga akhirnya kita semua menerima puisi esai sebagai bagian dari ranah sastra dan budaya dunia,” lanjutnya.
“Untuk menjadi penulis yang besar, kita bukan hanya perlu belajar dan memahami apa itu budaya. Tetapi juga mesti tahu dan memahami apa itu pengurusan awam dan politik, agama dan filsafat, sosio dan ekonomi, malah sains dan teknologi,” tutur Datuk Jasni.
Menurut sastrawan Malaysia ini, Denny JA memiliki paket itu. Sehingga membolehkannya diprediksi sebagai calon penerima hadiah Nobel, jika sekiranya diizinkan Tuhan.
