Wartajakarta.com-Banyak pasangan tidak sadar bahwa pernikahan itu adalah sebuah institusi. Maka, jika mau mencapai kebahagiaan dalam institusi pernikahan, harus jelas visi misinya. Hal itu ditegaskan konselor pernikahan Rani Anggraeni Dewi.
Rani Anggraeni Dewi menyatakan itu dalam Webinar di Jakarta, Kamis malam, 16 Februari 2023. Webinar itu diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, yang diketuai Denny JA. Diskusi Satupena itu dipandu oleh Elza Peldi Taher dan Anick HT.
Rani Anggraeni Dewi menuturkan, “Tetapi, jika sejak awal menikah orang tidak tahu tujuan pernikahan, bagaimana dia bisa tahu visi misinya?”
Rani menjelaskan, di dalam institusi pernikahan itu tidak ada kebahagiaan yang otomatis. Kebahagiaan itu harus diciptakan sendiri oleh masing-masing pasangan. “Dan lalu kita berbagi kebahagiaan,” lanjutnya.
Menurut penelitian, kata Rani, 18 bulan setelah pernikahan, romantisme pernikahan atau romantic love mulai pudar. Biasanya hilangnya romantisme ini juga terjadi sesudah anak lahir.
Rani mengatakan, sebagai konselor pernikahan, ia mengajarkan pada pasangan untuk bersikap kritis, serta melakukan refleksi tentang apa yang menjadi tujuan mereka menikah. Apa alasan yang lebih luhur dan lebih tinggi selain melegalkan hubungan seks.
“Kalau tujuan pernikahan cuma sekadar untuk menghalalkan hubungan seks dan mencari keturunan, itu dangkal sekali menurut saya,” kata Rani.
Rani menyesalkan adanya kelompok yang mengkampanyekan pernikahan di usia dini, sekadar “untuk menghindari dari berzina.”
Rani menyatakan, sebelum menikah sebaiknya setiap orang menyampaikan kepada pasangannya apa yang tujuan diharapkan dari pernikahan itu. Lalu mereka berdua sesudah menikah sama-sama berjuang dan membantu pasangannya untuk mewujudkan tujuan itu.
Rani juga menuturkan, sekitar 80 persen dari orang atau pasangan yang berkonsultasi dengannya adalah karena kasus perselingkuhan.
“Orang tidak menyadari bahwa perselingkuhan itu adalah tindak kekerasan. Perselingkuhan adalah bagian dari KDRT, kekerasan dalam rumah tangga,” jelas Rani.
Menurut Rani, menyelesaikan KDRT tidak cukup dengan sekadar minta maaf. Karena yang sering terjadi, KDRT itu berulang kali terjadi sehingga permintaan maaf menjadi klise.