Wartajakarta.com- Sebagian besar Indonesianis atau pakar tentang Indonesia bisa dibilang sepakat bahwa demokrasi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Hal itu diungkapkan pegiat HAM Usman Hamid.
Usman Hamid adalah pembicara dalam diskusi tentang kondisi demokrasi di Indonesia. Diskusi itu berlangsung di Jakarta, Kamis malam, 15 Februari 2024.
Diskusi yang menghadirkan Usman Hamid itu diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, yang diketuai Denny JA. Webinar itu dipandu oleh Anick HT dan Swary Utami Dewi.
Dalam diskusi itu, Usman Hamid mengutip pakar dari Australia, Edward Aspinall. “Aspinall mengatakan bahwa kualitas demokrasi Indonesia itu berada dalam titik yang terendah, dan itu beberapa tahun yang silam,” ujar Usman.
“Nah, bagi para praktisi seperti kita, apa yang bisa dilakukan untuk membuat demokrasi Indonesia kembali baik-baik saja?” tanya Usman.
Menurut Usman, “Kita bisa mulai dari suatu pandangan besar bahwa proses politik yang dilakukan haruslah dengan prinsip-prinsip demokrasi, seperti kesetaraan, keadilan, dan kebebasan.”
Usman mencoba menjelaskan kondisi demokrasi Indonesia dengan metafora. Jika demokrasi itu diibaratkan perahu, maka perahu demokrasi itu sedang didayung di antara dua karang besar. Salah sartu karang itu adalah oligarki.
“Oligarki adalah konsep politik yang sudah lama sekali dalam studi-studi politik. Untuk kasus Indonesia, konsep ini digunakan oleh Vedi Hadiz dan Richard Robison untuk menjelaskan situasi politik di Indonesia,” tuturnya.
Yang dimaksud oligarki dalam politik di Indonesia, adalah proses yang terjadi dalam reformasi di Indonesia dianggap hanya mengubah struktur pucuk politiknya. “Jadi ada proses formal perubahan politik melalui pemilu, melalui sarana elektoral yang hari-hari ini baru kita jalankan,” ungkap Usman.
“Tetapi, dalam pandangan penganut teori oligarki ini, sebetulnya struktur ekonomi politiknya belum berubah. Jadi proses pengambilan keputusan politiknya masih dikendalikan oleh kekuatan oligarki,” lanjut Usman.
Usman menjelaskan, oligarki secara sederhana bisa didefinisikan sebagai sistem hubungan kekuasaan yang dikendalikan berdasarkan kekuatan material. “
Orang-orang yang paling berpengaruh dalam sistem oligarki itu adalah orang yang punya kekayaan material paling besar,” jelasnya.
“Tetapi menurut Vedi Hadiz, oligarki di sini bukan tumbuh dengan sendirinya di dalam konteks ekonomi Indonesia, tetapi merupakan bagian dan kepanjangan tangan dari sistem ekonomi di tingkat global,” lanjut Usman.
“Jadi kalau di zaman Soeharto, Soeharto adalah oligarki yang menjalankan agenda ekonomi global untuk industri-industri ekstraktif yang banyak berkiblat pada Amerika,” katanya.
“Sementara pada era pemerintahan Jokowi, itu merupakan kepanjangan tangan dari sistem ekonomi global, baik Amerika maupun terutama Tiongkok. Jadi proses politiknya masih diorientasikan pada kepentingan ekonomi global,” sambung Usman. ***