Wartajakarta.com-Ada dua pandangan yang berbeda tentang kesetaraan antara sejarah dengan sastra perang, yaitu karya sastra yang terpantik atau terstimulus dari peristiwa perang tersebut. Hal itu dinyatakan oleh Akmal Nasery Basral.
Akmal Nasery Basral adalah kurator dan editor buku “Perang Pecah (Lagi) di Gaza: Antologi Kemanusiaan Palestina,” yang baru-baru ini diterbitkan oleh SATUPENA. Akmal adalah pembicara dalam diskusi yang membahas buku tersebut.
Diskusi itu berlangsung di Jakarta, Kamis malam, 21 Desember 2023. Diskusi itu diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, yang diketuai Denny JA. Webinar itu dipandu oleh Elza Peldi Taher dan Swary Utami Dewi.
Dalam pengantar diskusi, Akmal menjelaskan, ada pandangan dari sejarawan Kuntowijoyo bahwa karya sastra yang terpantik atau stimulusnya dari perang itu tidak sama dengan sejarah perang itu sendiri.
“Menurut Kuntowijoyo, ini dua hal yang berbeda. Perbedaan itu, pertama dari segi cara kerja sebagai disiplin. Kedua, mengenai verifikasi kebenarannya, akurasi dari peristiwa-peristiwa yang terjadi,” tutur Akmal.
“Ketiga, hasil secara keseluruhan atau agregatnya, dan keempat, kesimpulan akhir. Jadi ada empat hal yang digunakan Kuntowijoyo, yang juga seorang sastrawan, untuk membedakan antara peristiwa sejarah dan sastra perang,” ujar Akmal.
Tetapi, kata Akmal, pandangan Kuntowijoyo ini mendapat pandangan alternatif yang juga cukup kuat dari sejarawan Asvi Warman Adam.
“Menurut Asvi, sastra perang itu sama dengan sejarah, bahkan bisa dianggap sebagai bagian dari sejarah. Ini dilihat berdasarkan tolok ukur dalam memahami sejarah,” lanjut Akmal.
“Seperti sastra, sejarah juga membutuhkan imajinasi. Kebenaran atau akurasi peristiwa dalam sejarah itu sama juga dengan sastra. Sifatnya tidak mutlak, tetapi relatif,” ucap Akmal, mengutip Asvi.
Jadi kalau ada seseorang yang menganggap sejarah perang memiliki tingkat akurasi lebih tinggi dari sastra perang, menurut Asvi, tidak seperti begitu. Sejarah juga masih sesuatu yang relatif.
“Sejarah juga bisa memunculkan pertanyaan, yang tidak harus berupa jawaban yang positif atau afirmatif,” tegas Akmal.
“Ia bisa membiarkan pembaca, saat membaca hasil karya tentang sejarah perang itu, dalam posisi yang tidak bisa memastikan, mana yang benar, mana yang salah,” ungkapnya.
“Kecuali jika nanti dikaitkan dengan paradigma lain. Apakah itu berdasarkan serangkaian nilai-nilai yang dibawa oleh keyakinannya, agamanya, etnisnya, atau kelompok politiknya,” sambung Akmal, yang juga sering menulis novel sejarah.
Diskusi Satupena itu diikuti lebih dari 40 orang. Sebagian mereka adalah penulis puisi, cerpen, esai yang dimuat dalam buku yang diedit oleh Akmal.