Wartajakarta.com- Indonesia menghadapi tantangan besar terkait pengelolaan lahan gambut. Lahan gambut sebagian telah dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan ekonomi yang menopang kehidupan masyarakat. Aktivitas ekonomi di lahan gambut umumnya dimulai dengan membuat saluran drainase untuk menurunkan muka air tanah. Praktik tersebut seringkali membuat lahan gambut menjadi kering dan rentan terhadap kebakaran, yang berakibat pada meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK).
“Dampak terjadi penurunan lahan atau subsidence serta meningkatnya emisi GRK adalah dampak dari praktik ini,” ujar Dr. Ladiyani Retno Widowati, Kepala Balai Pengujian Standar Instrumen Tanah dan Pupuk, Kementerian Pertanian, pada pidato kunci Ekspose Nasional Pahlawan Gambut – Terus Jaga Gambut dengan tema: Rekam Jejak Peningkatan Pengelolaan Lahan Gambut dan Kapasitas Pemangku Kepentingan di Indonesia melalui Peat-IMPACTS, pada Selasa (12/11) di Jakarta.
Indonesia telah menetapkan target ambisius dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) dengan komitmen menurunkan emisi GRK sebesar 2996 pada 2030. Sebagai langkah nyata, pemerintah berupaya mengurangi deforestasi, mencegah kebakaran, dan memperkuat tata kelola gambut dengan mendirikan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove.
Upaya ini juga didukung oleh kolaborasi Kementerian Pertanian bersama dengan International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) dan BRIN dalam proyek “Improving the Management of Peatlands and the Capacitres of Stakeholders in Indonesia” (Peat-IMPACTS Indonesia). Proyek ini, yang berlangsung sejak 2020, dilakukan di Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat untuk mendukung target NDC melalui pengelolaan lanskap gambut yang baik dan penguatan kapasitas petani, melalui berbagai pelatihan dan praktik-praktik budidaya pertanian.
Dalam sambutannya, Direktur ICRAF Program Indonesia, Andree Ekadinata, menyampaikan apresiasi atas kolaborasi para pihak dalam pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. “Peat-IMPACTS bertujuan memperkuat kapasitas para pemangku kepentingan dan menciptakan solusi nyata untuk pengelolaan gambut yang adaptif dan berkelanjutan,” ujarnya. Ia juga menyoroti pentingnya keterlibatan berbagai level pemerintahan dan masyarakat lokal dalam mendukung keberhasilan proyek ini.
Kepala Badan Standardisasi dan Instrumen Pertanian, Prof. Dr. Fadjri Djufry, M.SI., yang diwakili oleh Dr. Ir. Haris Syahbuddin, DEA, Sekretaris Badan, Standardisasi Instrumen Pertanian, Kementerian Pertanian menambahkan, “Jika praktik baik Peat-IMPACTS di Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat ini diterapkan ke seluruh Indonesia, maka dampak positifnya bukan hanya untuk Indonesia, tetapi juga bagi dunia.” Ekosistem gambut Indonesia, dengan luas Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) mencapai 24 juta hektar, memainkan peran penting dalam mitigasi perubahan iklim global.
Ekosistem gambut memiliki fungsi penting dalam menyimpan karbon, mengatur hidrologi, serta mendukung keanekaragaman hayati. Namun, pengelolaan yang tidak berkelanjutan seperti drainase berlebihan dapat menyebabkan kebakaran yang melepaskan GRK dalam jumlah besar, mengakibatkan perubahan iklim, polusi udara, dan kerugian ekonomi.
Maike Elizabeth Lorenz, Kepala Bidang Iklim & Lingkungan Kedutaan Besar Jerman, hadir selaku lembaga donor dan menekankan pentingnya dukungan internasional dalam pengelolaan ekosistem gambut. “Komitmen kami untuk mendukung Indonesia dalam memperkuat kapasitas dan kolaborasi lintas sektor bertujuan untuk perlindungan ekosistem gambut, yang menjadi langkah konkret mendukung target iklim global,” ujarnya. Maike juga menyatakan kebanggaannya atas keberhasilan program Peat-IMPACTS. Ia bercerita tentang kunjungannya ke Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat, dan menyaksikan langsung dampak nyata dari Peat-IMPACTS.
Acara Ekspose Nasional ini juga menghadirkan Kepala Pusat Riset Tanaman Perkebunan BRIN, Setiari Marwanto, PhD. “Kondisi lahan gambut yang dinamis dan beragam menimbulkan ketidakpastian dalam perhitungan emisi GRK. Karena itu, diperlukan pengukuran intensif dalam periode lebih dari satu tahun untuk memperoleh data yang akurat,” katanya.
Dr. Sonya Dewi sebagai prinsiple investigator proyek Peat IMPCTS menyatakan bahwa program ini didesain untuk membantu pemerintah dan pemerintah daerah dalam rangka tata kelola gambut secara berkelanjutan. Beliau menyatakan bahwa membangun kapasitas para pihak dalam pengelolaan gambut berkelanjutan adalah investasi jangka panjang untuk masa depan ekosistem. Berbagai pendekatan metodologi dan alat bantu telah diperkenalkan dan gunakan untuk membantu para pemangku kepentingan mendukung perencanaan dan tata kelola pembangunan.
Upaya peningkatan kapasitas ini juga melibatkan pelatihan teknis untuk lembaga pemerintah dalam membuat dan menegakkan kebijakan, pelatihan praktik pertanian berkelanjutan bagi masyarakat lokal, serta integrasi konservasi gambut ke dalam model bisnis sektor swasta.
Peat-IMPACTS juga mengembangkan kurikulum muatan lokal gambut di tingkat Sekolah Dasar dan Menengah, sebagai upaya pengenalan, pemaham dan pembelajaran mengenai gambut sejak usia dini, serta pembentukan WikiGambut, sebuah platform pengetahuan digital yang menyediakan informasi komprehensif mengenai ekosistem gambut, pengelolaannya, serta praktik-praktik berkelanjutan untuk menjaga kelestariannya, mengedukasi masyarakat, serta mendukung upaya pelestarian gambut di Indonesia.
Serangkaian acara penutup proyek Peat-IMPACTS, bertajuk #PahlawanGambut – Menuju Masa Depan, berlangsung hingga Desember 2024. Acara ini diharapkan dapat menjadi ajang berbagi pengalaman mengenai pengelolaan lahan gambut berkelanjutan, menyampaikan rekomendasi kebijakan, serta mengembangkan potensi kolaborasi untuk menjaga kelestarian ekosistem gambut Indonesia. Kolaborasi lintas sektor juga diharapkan dapat menjembatani kesenjangan antara kesadaran dan aksi nyata untuk memastikan keberlanjutan ekosistem gambut Indonesia. Dengan komitmen yang kuat dan dukungan dari berbagai pihak, Indonesia optimis mampu mencapai target NDC serta memberikan kontribusi yang signifikan dalam upaya mitigasi perubahan iklim global.