Wartajakarta.com-Penerjemahan adalah kegiatan yang sedemikian diremehkan, sehingga sulit hidup sebagai penerjemah. Amat berat mencari nafkah sebagai penerjemah, sedangkan penerjemahan itu sendiri adalah kegiatan yang memayahkan.
Hal itu diungkapkan Jean Couteau, penulis asal Prancis yang sudah lama menetap di Indonesia. Couteau bicara dalam Obrolan HATI PENA #11, yang bertema “Quo Vadis Terjemahan Indonesia.”
Webinar yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA ini berlangsung pada Minggu, 31 Oktober 2021. Pemandu diskusi adalah Amelia Fitriani dan Elza Peldi Taher .
Couteau menjelaskan beberapa alasan historis, mengapa kerja penerjemahan kurang berkembang di Indonesia. Pertama, di zaman Jawa kuno sekitar abad ke-19, bahasa asing hadir bersama bahasa lokal. Namun, bahasa asing dianggap lebih membawa gengsi bagi para penuturnya.
Kedua, ketika zaman penjajahan Belanda di Indonesia, tidak dilihat adanya kebutuhan penerjemahan. “Hal ini karena orang berpendidikan Belanda sudah menguasai bahasa Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman. Mereka bisa membaca langsung di naskah, tak butuh terjemahan,” kata Couteau.
Sekarang sudah ada aplikasi digital dan kecerdasan buatan untuk melakukan penerjemahan. Menurut Couteau, aplikasi penerjemahan digital itu bisa dilakukan untuk pesan-pesan yang sederhana dan bahasa sederhana. Tapi tidak memadai untuk bahasa yang kompleks dengan kedalaman kultural.
Couteau menjelaskan, untuk menerjemahkan dari bahasa Indonesia ke Prancis atau Inggris, biasanya aplikasi digital sudah oke. Ini karena kalimat Indonesia umumnya tanpa anak kalimat. Namun, dari bahasa Inggris dan terutama Prancis ke bahasa Indonesia, lebih sulit.