Connect with us

Nasional

Kemenangan Taliban Mengakibatkan Pergeseran Geopolitik Ke Asia Tengah Sebagai Daerah Jantung

Wartajakarta.com-Dampak kemenangan Taliban di Afganistan sangat minimal bagi Indonesia. Hal ini karena sejak pemilu 1955 hingga sekarang, terbukti dukungan terhadap partai-partai yang berideologi Islam atau mengusung aspirasi negara Islam sangat kecil di Indonesia. Partai-partai Islam itu tidak pernah meraih suara mayoritas.

Demikian dikatakan Ketua Umum Persatuan Penulis Indonesia SATUPENA, Denny JA, dalam Webinar Obrolan Hati Pena #3 bertema “Tata Dunia di Era Pandemik: Paradigma Geopolitik dan Diplomasi Internasional.” Acara itu berlangsung di Jakarta, Minggu (5/9/2021).

Denny menanggapi dua nara sumber. Yaitu: Dr. Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute, dan Yon Machmudi, Ph.D., Ketua Program Studi Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam SKSG Universitas Indonesia. Sebagai host adalah Amelia Fitriani dan Anick HT.

Lebih lanjut, Denny mengungkapkan, mayoritas umat Islam Indonesia terbukti lebih memilih partai nasionalis yang bersifat terbuka. Meskipun membaca Al-Quran yang sama, memiliki Nabi yang sama, watak pemilih Muslim Indonesia berbeda dengan Afganistan.

Sejak kemerdekaan RI pada 1945, warga Muslim Indonesia hidup dalam kultur yang moderat, yang disimbolkan dalam Pancasila. Mereka memilih negara demokrasi, tetapi ada Kementerian Agama sebagai ekspresi perhatian pemerintah pada agama. Jadi tidak mendukung negara Islam, yang menjadikan Syariah sebagai hukum positif, apalagi sebagai konstitusinya.

Denny menambahkan, Afganistan tampaknya akan menerapkan sistem negara Islam di mana pemimpin tertingginya adalah seorang ulama. Lalu ada Presiden atau Perdana Menteri, yang posisinya berada di bawah pimpinan tertinggi itu. Ini mirip dengan Negara Islam Iran. Bedanya, mayoritas Muslim Iran itu Syiah, sedangkan di Afganistan itu Sunni.

Disisi lain menurut Dr. Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute,mengatakan fenomena kemenangan Taliban di Afganistan, tampaknya telah terjadi pergeseran sentra geopolitik kembali ke Asia Tengah sebagai daerah jantung. Maka Indonesia harus semakin mempertimbangkan input-input geopolitik dalam perumusan kebijakan luar negeri, khususnya yang terkait lokasi geografis.

Pada diskusi itu, Hendrajit yang mantan wartawan Tabloid DeTik, memberi contoh China dalam menjabarkan politik luar negerinya. Politik luar negeri China bertumpu pada “Silk Road Maritime Initiatives” sebagai Strategi Nasionalnya.

Hendrajit mengutip pidato Bung Karno dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandung, 1955. Dalam pidato itu, Bung Karno telah menyinggung lintasan Jalur Sutra (Silk Road), yang beliau gambarkan sebagai garis-garis hidup imperialisme.

Maka kemudian, rangkaian geografis tersebut oleh Bung Karno ditransformasikan menjadi garis-garis hidup Asia-Afrika, untuk mengikat kerjasama strategis negara-negara di kawasan Asia dan Afrika. “Meski temanya adalah anti-imperialisme dan kolonialisme, namun skemanya adalah politik luar negeri berbasis geopolitik,” tegas Hendrajit.

Hendrajit menyarankan, inilah kerangka pemikiran dan pandangan yang harus jadi landasan penyusunan kebijakan strategis luar negeri Indonesia. Yakni, untuk merespons dinamika dan pergeseran sentra geopolitik di Asia-Pasifik, pasca kemenangan Taliban di Afganistan.

Pendekatan itu juga perlu diterapkan dalam merespons tren yang semakin memanas di Laut China Selatan, Asia Tenggara, atau bahkan mungkin juga di Semenanjung Korea, Asia Timur imbuhnya.

Hendrajit beranggapan, kemenangan Taliban merebut Kabul, bisa menjadi katalisator terciptanya keseimbangan Kekuatan Internasional Baru di Asia Selatan maupun Asia Tengah. Perkembangan baru ini senyatanya lebih menguntungkan poros China-Rusia-Iran dibandingkan poros AS-NATO.

Indonesia perlu menyimak atau “wait and see” dulu, sebelum mengakui pemerintahan Taliban di Afganistan. Tetapi bukan berarti berdiam diri. Indonesia perlu mendukung berlangsungnya masa transisi yang baik. Serta membantu peningkatan kapasitas, agar pemerintahan Taliban ini bergerak menuju moderasi, dan memperkuat aspek Islam yang lebih moderat,kata Yon Machmudi, Ph.D., Ketua Program Studi Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam SKSG Universitas Indonesia,imbuhnya.

Pendekatan ke Taliban juga perlu dilakukan Afganistan, tetapi jangan terlalu menekankan pada aspek ideologis yang ketat. Jadi, lebih pada kepentingan yang bisa dibangun bersama. Pendekatan yang dibutuhkan adalah yang cukup bersifat akomodatif, berdasarkan penilaian yang sangat kuat.

Menurut pengamatan Yon Machmudi, akses yang sudah dilakukan Kemlu RI saat ini bisa terus dilakukan. Sehingga pada saatnya nanti, Indonesia bisa menentukan posisi terhadap Afganistan secara baik. Untuk hal-hal yang tidak terlalu esensial dari pihak Afgsanistan, itu bisa diakomodasi.

“Jangan paksakan mereka (Taliban) bisa berubah secara dramatik,” tegas Yon Machmudi. Tapi sinyal perubahan ke arah moderasi dari pihak Taliban yang sudah ada, agar bisa ditindaklanjuti. Tawaran itu harus lebih spesifik, konkret, positif.

“Hindari pendekatan koersif, ancaman, dan invasi. Model-model seperti itu saat ini jarang bisa menghasilkan perubahan secara signifikan. Sangat penting agar semua bisa berjalan secara natural. Tanpa ada kekuatan yang memaksakan kehendak,” ujarnya.

Yon Machmudi menambahkan, kegagalan nation building di Afganistan adalah karena menggunakan pendekatan dari atas (top-down) yang dipaksakan dari luar, dan tidak berakar di rakyat. Aspirasi pihak lokal kurang diperhatikan.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

More in Nasional