Wartajakarta.com– Musikalisasi puisi yang selama ini sudah biasa dilakukan hasilnya tidak persis sama dengan ketika kita menggunakan kecerdasan buatan atau AI (artificial intelligence). Hal itu diungkapkan Nia Samsihono, Ketua Satupena DKI Jakarta.
Nia Samsihono menjadi narasumber dalam diskusi daring Hati Pena di Jakarta, Kamis malam, 11 Juli 2024. Diskusi itu diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA yang diketuai Denny JA dan dipandu oleh Amelia Fitriani dan Swary Utami Dewi.
Dalam diskusi bertema Ketika Kata dan Nada Berjumpa itu, Nia Samsihono memaparkan pengalamannya mengubah puisi menjadi lagu, dengan bantuan aplikasi AI.
Mengaku dirinya gaptek (gagap teknokogi), Nia menuturkan, awalnya ia terpicu mengubah puisi menjadi lagu dengan bantuan AI karena diperkenalkan ke aplikasi tersebut oleh penulis Akmal Nasery Basral.
Nia menceritakan, hanya dalam beberapa menit, berkat dukungan AI, Akmal mampu mengubah puisi karya Nia menjadi lagu. Nia pun takjub. Akhirnya, bukan cuma Nia yang terlibat dalam “proyek” itu. Belasan penulis lain ikut menyumbang karya.
Nia Samsihono mengoordinasikan kolaborasi para penyair, agar lahir sebuah karya yang lain dari biasanya, yakni perpaduan karya puisi berupa buku, serta lagu yang dibuat dari puisi-puisi tersebut. “Karya keroyokan ini dikerjakan dengan cara saweran,” tambahnya.
Nia menghimpun tulisan para penyair seperti Denny JA, Akmal Nasery Basral, Eka Budianta, Sari Narulita, Linda Djalil, Menur Hayati Adiwiyono, Dwi Sutarjantono, Ellyviani Ekaputri Wulandari, Yudha Kurniawan, Pipiet Senja, Masya Firdaus, Dyah Tinggeng, Della Red Pradipta, dan H. Abustan dalam bentuk puisi, yang lalu dilagukan.
Meski gaptek tentang AI, Nia mengaku sudah bertahun-tahun mengurus musikalisasi puisi di Badan Bahasa. Kata Nia, musikalisasi puisi sudah dilakukan grup Bimbo terhadap puisi-puisi karya Taufiq Ismail.
“Dalam musikalisasi puisi, puisi itu disampaikan tidak dengan cara dibaca tetapi dengan musik, agar puisi itu mudah dipahami oleh pendengar atau masyarakat. Dan puisi itu tidak berubah. Jadi tidak ada refrain dalam musikalisasi puisi,” jelas Nia.
Tetapi Nia melihat, dalam musikalisasi puisi berbasis AI yang dikerjakan Akmal, ada semacam refrain atau bagian yang diulang-ulang.
“Itu menjadi sebuah bentuk baru. Jadi bukan puisi utuh lagi, tetapi dipenggal-penggal, mengikuti nada-nada yang telah dibuat oleh para pemusik,” lanjut Nia.
Menanggapi Nia, penulis Dwi Sutarjantono mengatakan, ada banyak aplikasi AI untuk musikalisasi puisi. Ada yang gratis dan mudah, ada juga yang berbayar.
“Ada pilihan, genre musiknya apa. Ini tergantung selera masing-masing. Ada rock, balada, seriosa. Juga bisa memilih suara yang diinginkan. Mungkin irama dangdut memakai tamborine, lalu ada pilihan nada, tempo, ritme,” tutur Dwi.
Menurut Dwi, para musisi sekarang justru memakai aplikasi AI ini untuk memudahkan mereka membuat lagu.