Connect with us

Nasional

Pasca 100 Hari Prabowo – Gibran. Mengukur Kesiapan Industri Lokal Ke Era BRICS Dan Trump 2.0

Wartajakarta.com. Next Policy menggelar diskusi yang bertempat di Rumah Wijaya (7/2/ 2025), Jakarta selatan untuk membahas kerentanan industri lokal yang berpotensi terdampak situasi global seperti bergabungnya Indonesia ke BRICS serta ancaman-ancaman yang dilayangkan Presiden Donald Trump berupa pemberlakuan tarif impor 100% terhadap negara-negara BRICS. Kebijakan ini, jika benar diterapkan, akan berpengaruh secara negatif terhadap Indonesia yang notabenenya merupakan anggota baru BRICS.

Diskusi diawali oleh Peneliti Next Policy yang menyoroti relevansi bergabungnya Indonesia
ke dalam BRICS, sebab belum ditemukan alasan yang resmi disampaikan oleh Pemerintah
selain upaya diversifikasi mitra strategis lewat politik bebas aktif yang dimiliki Indonesia.

Indonesia saat ini berada di situasi yang tidak baik-baik saja, sebagai contoh sejak tahun 2024 penurunan laju konsumsi di Indonesia terus berlanjut, terjadi deflasi selama lima bulan berturut-turut serta penyerapan tenaga kerja berstatus buruh/pegawai yang belum mencapai 40,7% seperti sebelum pandemi pada tahun 2019. Belum lagi soal pemangkasan belanja
pemerintah yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan.

Muhammad Ibnu Faisal, Peneliti Next Policy, mengingatkan bahwa potensi ancaman dari kebijakan tarif impor 100 persen yang diberlakukan Amerika Serikat terhadap negara-negara
BRICS perlu menjadi perhatian serius. “Kebijakan ini dapat menyebabkan oversupply di
negara-negara BRICS yang pada akhirnya bisa saja menjadikan Indonesia sebagai ‘pasar
pembuangan’ negara-negara BRICS lain yang lebih matang secara industri”

Lebih lanjut, ia menyoroti tren pertumbuhan industri pengolahan yang terus mengalami
perlambatan dalam tiga tahun terakhir: 4,89 persen (2022), 4,64 persen (2023), dan 4,43
persen (2024). Padahal, sebagai sektor utama dalam PDB industri manufaktur, idealnya
pertumbuhan industri pengolahan dapat mencapai di atas 5 persen atau setara dengan laju
pertumbuhan ekonomi nasional. “Ekonomi kita belum bertransformasi menjadi negara
industri, namun kontribusi sektor industri justru telah menyusut, hal ini bisa saja membenarkan gejala deindustrialisasi dini yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan”.
Shofwan Al Banna Choiruzzad, Ph.D. (Associate Professor Hubungan Internasional
Universitas Indonesia), menyoroti tantangan yang dihadapi Indonesia dalam kebijakan keanggotaan BRICS. “Masih belum jelas apa yang ingin dicapai pemerintah dengan
bergabung ke BRICS, mengingat arah kebijakan yang belum konsisten,” ujarnya.

Sementara itu, Made Krisna Y. W. Gupta, Ph.D atau yang akrab dipanggil Imed, Ekonom
FEB UI, menyoroti pentingnya kebijakan industri yang lebih progresif dalam menghadapi
tantangan global. Ia membandingkan dengan kebijakan Tiongkok yang mengalokasikan 5
persen dari PDB mereka untuk subsidi industri. “Industri Tiongkok dapat berkembang pesat karena mendapat subsidi besar, sementara Indonesia insentif sangat terbatas.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

More in Nasional