Wartajakarta.com- Meskipun Pancasila tidak secara inheren dianggap sebagai “ideologi terbuka,” ia memiliki unsur-unsur tertentu yang mempromosikan inklusivitas dan pluralisme. Hal itu dikatakan doktor filsafat dari Universitas Indonesia, Satrio Arismunandar.
Satrio Arismunandar mengomentari diskusi tentang Pancasila dan penerapannya kini. Webinar di Jakarta, Kamis malam, 8 Juni 2023 itu diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, yang diketuai penulis senior Denny JA.
Webinar yang dikomentari Satrio Arismunandar itu menghadirkan pembicara Syaiful Arif, Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP). Diskusi itu dipandu oleh Anick HT dan Amelia Fitriani.
Satrio Arismunandar menyatakan, istilah “ideologi terbuka” tidak memiliki arti yang diakui secara universal atau spesifik. Namun, itu dapat dipahami dalam kaitannya dengan konteks yang berbeda, masing-masing dengan interpretasinya sendiri.
Menurut Satrio, dalam konteks politik, “ideologi terbuka” dapat merujuk pada ideologi yang mempromosikan keterbukaan, transparansi, dan partisipasi dalam proses pemerintahan dan pengambilan keputusan.
“Ini mengadvokasi transparansi pemerintah, akuntabilitas, dan keterlibatan publik dalam pembuatan kebijakan. Ideologi terbuka dalam politik seringkali menekankan pentingnya keterlibatan warga negara, akses terhadap informasi, dan praktik demokrasi,” ujarnya.
Ditambahkan Satrio, perlu dicatat bahwa istilah “ideologi terbuka” dapat ditafsirkan secara berbeda tergantung pada domain atau konteks spesifik penggunaannya.
“Maknanya dapat bervariasi, dan penting untuk mempertimbangkan konteks dan konotasi spesifik yang terkait dengan istilah tersebut saat membahasnya,” tutur Satrio.
Sila kedua Pancasila menyatakan prinsip, yang menekankan pada martabat yang melekat, kesetaraan, dan penghormatan terhadap semua individu. “Menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan sosial, hak asasi manusia, dan perlakuan yang adil terhadap semua warga negara,” ujar Satrio.
“Sedangkan prinsip pada sila pertama mengakui pentingnya keyakinan dan spiritualitas keagamaan. Ini mempromosikan toleransi beragama dan mengakui bahwa Indonesia adalah bangsa yang beragam agama,” sambungnya.
Sementara itu, sila kelima menegaskan prinsip yang berupaya menjamin pemerataan sumber daya, kesempatan, dan kesejahteraan bagi semua warga negara. Terutama bagi mereka yang kurang beruntung atau terpinggirkan.