Wartajakarta.com-Kata-kata di dalam puisi memiliki kekuatan transenden, kekuatan ilahiyah. Maka puisi di masa lalu sangat ditakuti oleh rezim penguasa, karena memiliki kekuatan untuk mendobrak. Itu sebabnya, puisi di masa lalu menjadi salah satu media perjuangan yang penting.
Hal itu diungkapkan dosen, penyair, dan penulis Ahmad Gaus AF, dalam acara pembacaan puisi di Obrolan Hati Pena #14. Acara di Jakarta ini berlangsung pada Minggu siang, 14 November 2021.
Acara yang bertema “Bagimu Negeri, Kunyalakan Puisi: Memperingati Hari Pahlawan” itu diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA. Sebagai pemandu acara adalah Elza Peldi Taher dan Swary Utami Dewi.
Ahmad Gaus menjelaskan, perjuangan Indonesia mencapai kemerdekaan itu mengalami tahapan transformasi. Dulu perjuangan melawan penjajah dipimpin oleh para raja dan bangsawan.
Tapi pada awal abad ke-20, perlawanan terhadap penjajah beralih ke kalangan terdidik, cendekiawan, dan sastrawan. “Metode perlawanan pun diubah, melawan penjajah dengan senjata intelektual. Di sinilah puisi mengambil peran,” tegas Gaus.
Bahkan ada yang mengatakan, Indonesia merdeka karena puisi. “Maksudnya, imajinasi tentang keindonesiaan itu dibentuk oleh frase-frase di dalam puisi, seperti tanah air, ibu pertiwi, tumpah darahku, tanah persada, dan lain-lain,” tutur Gaus.
Dulu tidak ada istilah tanah air, ibu pertiwi, tanah tumpah darahku, dan sebagainya. Istilah-istilah itu baru muncul dalam puisi. “Jadi puisi-puisi itu membentuk imajinasi tentang keindonesiaan,” ucap Gaus.