Wartajakarta.com-Ada tiga bahaya dari politik identitas yang diskriminatif. Pertama, warga memperoleh berkah atau diskriminasi hanya berdasarkan identitasnya. Warga negara tidak lagi dinilai dari prestasinya atau karakternya, tetapi semata-mata dari identitasnya.
Hal itu diungkapkan oleh Denny JA, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, dalam Webinar yang membahas ancaman politik identitas. Webinar itu berlangsung di Jakarta, Kamis malam, 10 November 2022.
Sebagai narasumber adalah Prof. Ali Munhanif, MA, Ph.D., Dekan FISIP UIN Jakarta. Diskusi tentang ancaman politik identitas itu dipandu oleh Elza Peldi Taher dan Amelia Fitriani.
Bahaya kedua dari politik identitas yang diskriminatif, menurut Denny, adalah hal itu merusak keakraban warga negara lintas identitas. Ini merusak realitas multikultural masyarakat modern.
“Politik identitas ini membelah masyarakat berdasarkan dinding-dinding identitasnya. Dan itu mengganggu keakraban sesama warga negara,” ujar Denny.
Ketiga, yang jauh lebih berbahaya lagi, politik identitas ini berpotensi melahirkan konflik horisontal yang berkepanjangan. “Yang terbelah bukan cuma masyarakat awam, tetapi bahkan kampus pun terbelah oleh politik identitas,” lanjutnya.
Dosen-dosen dari identitas tertentu terbelah dengan dosen-dosen dari identitas yang lain. Kenaikan status dosen bukan karena prestasinya tetapi karena bagian dari identitas tertentu. “Bahkan ini berlaku juga di dunia bisnis dan civil society,” tegas Denny.
Namun, kata Denny, berita baiknya di Indonesia ini partai pemenang pemilu selalu PDIP, Golkar, atau Demokrat, yang dikenal tidak memainkan kartu politik identitas.
“Berita baik lainnya, Presiden yang terpilih secara langsung –seperti SBY dan Jokowi—juga tidak memainkan politik identitas,” tambahnya.
“Realitas politik di Indonesia, politik identitas memang bisa memenangkan pilkada di wilayah tertentu, tetapi tidak di politik nasional. Ini sudah dibuktikan oleh hasil pemilu,” jelas Denny.