
Wartajakarta.com-Sejarah awal Hari Ibu ternyata ada kaitannya dengan pesan perdamaian. Pada 1870 di Amerika Serikat, dideklarasikan Mother’s Day Proclamation. Pada awal Hari Ibu itu, diserukan kepada para ibu untuk membujuk suami dan anak lelakinya agar mereka tidak pergi berperang.
Hal itu diungkapkan Denny JA, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, dalam peringatan Hari Ibu di Webinar Obrolan Hati Pena #19 di Jakarta, Kamis malam (23/12).
Tema acara itu adalah “Ibu Dalam Budaya Indonesia,” dengan nara sumber penulis, penyair, yang juga dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Nenden Lilis Aisyah. Pemandu diskusi adalah Elza Peldi Taher dan Swary Utami Dewi.
Denny melanjutkan, gema seruan Hari Ibu di AS itu lalu meluas ke Eropa dan seluruh dunia. Jadi awal Hari Ibu adalah hari perdamaian. Pada 1914, Presiden AS Woodrow Wilson menetapkan Hari Ibu sebagai hari libur nasional.
Namun, menurut Denny, sejarah awal Hari Ibu di AS itu berbeda dengan Hari Ibu di Indonesia, yang memiliki sejarah lebih kompleks. Pada 22 Desember 1928 ada Kongres Perempuan pertama di Yogyakarta, hanya berselang dua bulan dari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.
Kongres itu diikuti lebih dari 600 perempuan dari berbagai kota, yang mewakili 30 organisasi. Mereka membuat organisasi yang lebih besar, yang bernama Perikatan Perkoempoelan Istri Indonesia (PPII).
“Jadi 22 Desember itu adalah awalnya hari perjuangan perempuan Indonesia melawan penjajah,” tegas Denny. Ditambahkannya, di acara itu hadir pula wakil-wakil dari Boedi Oetomo, PNI, PSI, Jong Java, Muhammadiyah dan organisasi pergerakan lainnya.
