Wartajakarta.com-Bukti sejarah Indonesia menunjukkan, di masa lampau perempuan mendapat penghargaan dan derajat yang sama dengan pria. Begitu tinggi penghargaan terhadap perempuan, sehingga perempuan mendapat wewenang sebagai kepala negara.
Hal itu diungkapkan penulis dan penyair Nenden Lilis Aisyah, yang menjadi nara sumber dalam acara diskusi dan baca puisi, yang diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, di Jakarta, Kamis malam (23/12).
Tema Webinar Obrolan Hati Pena #19 itu adalah “Ibu Dalam Budaya Indonesia.” Pemandu diskusi adalah Elza Peldi Taher dan Swary Utami Dewi.
Tentang perempuan yang menjadi kepala negara, Nenden memberi contoh: Ratu Shima yang menjadi penguasa Kerajaan Kalingga (674-695 M), Tribhuwana Wijayatunggadewi, ratu Majapahit (1328-1350 M), dan Prabu Sri Suhita ratu Majapahit (1429-1447).
Ditambah lagi, Sultanah Safiatuddin memerintah Aceh pada akhir abad 17, Sisti Asiyah We Tenriolle memerintah kerajaan Ternate sekitar abad ke-19, dan Ratu Kalinyamat Putri Raja Demak yang menjadi bupati Jepara.
“Namun pada masa-masa berikutnya, diprediksi karena pengaruh feodalisme dan kolonialisme, kedudukan perempuan cenderung subordinat terhadap laki-laki,” tutur Nenden.
Hal ini, contohnya, terlihat dari rumusan tujuan pendidikan untuk kaum perempuan, yang dibuat Inspektur Pendidikan Zaman Kolonial abad 19, yang mengarah pada pendomestikan kaum perempuan.