Wartajakarta.com-Samakin miskin atau tidak sejahtera suatu negara, semakin agama dianggap penting oleh populasi di negara itu. Demikian hubungan antara arti penting agama dengan tingkat ekonomi atau kesejahteraan suatu nergara, menurut hasil survei Gallup 2009 terhadap 150 negara.
Hasil survei itu dikutip Denny JA, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, dalam webinar Obrolan HATI PENA #8, bertema “Merebut Tafsir: Gugatan atas Sesembahan Perempuan.” Acara ini yang diadakan oleh SATUPENA ini dilatar belakangi posisi perempuan dalam Islam, yang di banyak negara masih harus berjuang demi kesetaraan.
Sebagai nara sumber webinar ini adalah Lies Marcoes, penulis buku “Merebut Tafsir” dan Direktur Rumah Kitab. Webinar itu berlangsung hari Minggu (10/10) di Jakarta. Pemandu diskusi adalah Amelia Fitriani dan Anick HT.
Denny menanggapi buku “Merebut Tafsir” karya Lies Marcoes, dengan menyatakan bahwa perjuangan demi kesetaraan gender bukan cuma perjuangan kaum wanita, tetapi juga perjuangan manusia.
Jika yang menghalangi kesetaraan gender di ruang publik adalah struktur sosial, maka struktur itu harus diubah. “Sedangkan, jika yang menghalangi adalah teks agama atau tafsir kitab suci, maka tafsir itulah yang harus direbut,” ujar Denny.
Di negara-negara yang kesejahteraannya sudah tinggi, seperti Denmark atau Swedia, upaya merebut tafsir agama itu tidak terlalu dianggap penting. Ini karena penegakan HAM, kesetaraan gender, sudah kukuh di konstitusi, undang-undang, dan kultur.
Tetapi di negara-negara yang pendapatan per kapitanya rendah, seperti Banglades di Asia atau Burundi di Afrika, merebut tafsir agama itu sangat penting. Ini karena dengan merebut tafsir itu kita bisa merebut ruang publik lewat agama.