Wartajakarta.com- Permasalahan sampah plastik hingga kini masih menjadi isu menarik karena seolah belum ada terobosan solusi penanganannya. Nampaknya, ada yang salah dalam penanganan sampah plastik selama ini yang menyebabkan penyelesaiannya menjadi sangat sulit dilakukan.
Demikian benang merah yang terungkap dari hasil diskusi media “Tantangan dan Tentangan Sampah Plastik” yang dilakukan secara daring oleh Forum Jurnalis Online, Kamis (28/1). Diskusi ini menghadirkan beberapa narasumber seperti Rofi Alhanif, Asisten Deputi Pengelolaan Sampah dan Limbah Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kemenko Kemaritiman dan Investasi RI, Ujang Solihin Sidik, Kepala Subdirektorat Barang dan Kemasan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, serta aktivis dari beberapa organisasi lingkungan.
Rofi dari Kemenko Kemaritiman dan Investasi menegaskan bahwa tingkat pemilahan sampah di Indonesia masih sangat rendah. Inilah awal mula terjadinya permasalahan sampah plastik. “Seharusnya semua bisa dimulai dari rumah kita yang menjadi sumber sampahnya. Kita tidak melakukan pemilahan sampah dengan baik di rumah. Ini yang menjadi awal mula masalah sampah plastik ini, kita tidak melakukan pengelolaan sampah dari hulunya,” ujarnya.
Selain itu, kata Rofi, masalah sampah plastik ini juga disebabkan kurang bisanya kita menghasilkan plastik yang multifungsi dan tidak sekali pakai. “Saya kira ini tantangan kita,” ucapnya. Dia mengutarakan ada 0,62 juta ton sampah plastik yang bocor ke laut. Menurutnya, kondisi Indonesia yang memiliki lebih dari 330 sungai menjadi potensi jalan masuknya sampah ke laut.
Muharram Atta Rasyadi, Juru Kampanye Urban GreenPeace Indonesia berpendapat cara penanganan yang efektif untuk sampah plastik ini adalah menutup keran atau sumbernya. Sementara yang ada saat ini adalah daur ulang yang itu dianggap sebagai senjata yang ampuh dalam mengurangi sampah plastik. “Jika kita menjadikan itu senjata utama, maka masalah sampah plastik mini tidak akan selesai sampai kapanpun,” ucapnya.
Peneliti Ecoton, Andreas Agus Kristanto Nugroho, melihat sampah plastik ini telah banyak mencemari sungai. Dia mencontohkan kondisi sampah plastik yang ada di Sungai Brantas, dimana beban cemarnya sudah melebihi daya tampungnya. “Setiap hari 92 ton sampah plastik harus ditampung di Sungai Brantas, sedangkan daya tampungnya sendiri cuma 62 ton,” katanya.
Ujang Solihin Sidik, Kepala Subdirektorat Barang dan Kemasan KLHK, mengungkapkan belum ada solusi yang komperhensif dan berkelanjutan terkait dengan sampah plastik ini. Menurutnya, hal itu disebabkan karena selama ini semua masih berpikir bahwa urusan sampah ini hanya urusan menangani adanya sampah saja. “Artinya, sampah itu hanya ditangani dengan cara dibersihkan, diangkut, kemudian selesai cuma sampai ditimbun di TPA. Hanya sekedar itu. Jadi, prinsip dan paradigma atau mindset-nya masih banyak yang belum berubah. Ini yang menjadi persoalannya,” tukasnya.
Kata Uso, panggilan Ujang Solihin, prinsip dasar pengelolaan sampah itu harus yang berkelanjutan, yang dimulai dari reduce, diikuti reuse dan baru recycle (3R). Jadi hirarki utama yang harus dilakukan dalam penanganan sampah ini adalah bagaimana upaya untuk mencegah sampah supaya tidak timbul. Setelah itu, upaya pemanfaatan reuse dengan mengusahakan penggunaaan kembali sampah-sampah plastik. Sementara, daur ulang sampah berada di urutan terakhir.
Adithiyasanti Sofia, Manager Program Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik, menambahkan recycling saja belum cukup untuk menjawab penanganan permasalahan sampah plastik ini. Dia juga setuju bahwa pengurangan sampah plastik itu harus yang utama dilakukan untuk mencegah terjadinya timbulan sampah.
Para aktivis lingkungan selama ini mendukung kemasan makanan minuman yang bisa digunakan berulang dan menentang kemasan plastik sekali pakai.
Jadi, kata Ujang Solihin, selama ini yang dilakukan adalah kita selalu “menunggu” adanya sampah. Bobotnya hanya pada penanganan saja, yaitu menunggu adanya sampah. Akibatnya, jumlah sampahnya naik terus setiap hari. Sementara, Uso mengakui kemampuan khususnya pemerintah daerah/kabupaten/kota dalam menangani persoalan sampah ini masih terbatas.
“Akibatnya yang terjadi sampahnya nambah terus, produksi nambah terus terutama sampah plastik. Sementara kapasitasnya masih belum bergerak banyak, sehingga selalu tertinggal dengan jumlah timbulan sampah. Itulah yang terjadi saat ini. Kita hanya berpaku pada penanganan yakni mengurusi sampah yang sudah ada, tapi tidak mengatasi, membatasi, mengurangi, bahkan mencegah timbulnya sampah baru dari berbagai instrumen,” tuturnya.
Uso mengatakan ada cara yang hingga kini belum dilakukan sama sekali dalam penanganan sampah plastik ini, yaitu bagaimana pengurangan komponen sampah itu dilakukan. Dia mengibaratkan konteks pengurangan sampah itu seperti keran yang ada di bath up yang bocor. “Nah, dalam konteks pengurangan sampah plastik, bagaimana caranya memperkecil keran ini atau bahkan mematikan sementara kerannya, supaya konteks penanganannya diberikan ruang sehingga kapasitasnya menjadi lebih naik. Jadi konteks pengurangannya yang belum banyak disentuh. Konteks mengurangi itu harus sama pentingnya dengan konteks penanganan dan kebijakan. Ini sudah clear sebetulnya, undang-undang, PP-nya, itu sudah clear. Itulah kenapa konteks penanganan dan pengurangan harus sama pentingnya,” ujarnya.
Selama paradigma penanganan sampah itu belum berubah, menurut Uso, sampah akan tetap menjadi beban lingkungan, baik lingkungan darat maupun lautan.