Wartajakarta.com-PT. Harmas Jalesveva yang merupakan pengelola One Bell Park Mall, The Aspen Apartment dan Admiralty Residence ,merasa dirugikan akhirnya angkat bicara terkait isu kepailitan yang diberitakan beberapa hari terakhir.
Diketahui hal tersebut bermula dari adanya permasalahan dengan dua kreditur yang disidangkan di Pengadilan Niaga Jakarta.
Dimana perjanjian perdamaian PT. Harmas Jalesveva dengan kreditur disahkan berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga Nomor: 55/Pdt.Sus-PKU/2018/PN.Niaga.Jkt.Pst namun dibatalkan berdasarkan putusan Nomor 02/Pdt.Sus-Pembatalan Perdamaian/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst dimana melalui pembatalan tersebut Pengadilan menyatakan bahwa PT. Harmas Jalesveva Pailit.
Menurut Kuasa Hukum PT. Harmas Jalesveva Wahab Abdillah, keputusan kepailitan tersebut terlihat sangat janggal, mengingat tidak ada tagihan utang antara kliennya dengan pemohon.
Hal tersebut sesuai dengan Undang-undang No.37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan pembayaran utang yang berisi ‘Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau dua kreditornya‘ dan Pasal 8 ayat (4) yang berisi ‘Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi.’
“Pengajuan kasasi di lakukan kemarin pada hari Senin(15/6) dan telah didaftarkan di PN Niaga (Pengadilan Negeri Niaga) dengan nomor register 25 Kas/Pdt.SusPailit/ZOZO/PN. NiagaJkt.Pst,” kata kuasa hukum PT Harmas Jalesveva, Wahab Abdillah dari KD Wardhani Law Office kapada awak media, Selasa (16/6/20).
Langkah kasasi ini juga didukung oleh mayoritas penghuni Apartemen yang dikelola PT Harmes Jalesveva yang jumlahnya mencapai 400 lebih.
Langkah kasasi ini diambil, lanjutnya, karena pihaknya menilai keputusan yang diambil PN Niaga berdasarkan bukti dan pertimbangan yang janggal. Dengan Kejangaalan tersebut, PN Niaga semestinya tidak berwenang memutuskan perkara tersebut.
“Karena bukti dan pertimbangannya janggal, otomatis keputusan yang diambil adalah keputusan yang janggal,” tegas Wahab.
Di antara kejanggalan itu, terangnya, pertama, Pemohon II, Farida Soemawidjaya tidak mempunyai legal standing dalam perkara pembatalan perjanjian perdamaian karena nama Yang bersangkutan tidak ada tercantum dalam perjanjian homologasi berdasarkan Putusan Niaga Nomor: 55/Pdt.Sus-PKU/2018/PN.Niaga. Jkt.Pst, yang menjadi acuan dalam pengambilan keputusan tersebut.
Kedua, Pemohon I, Agustin Farida, tidak mempunyai tagihan berupa nilai uang yang telah jatuh tempo kepada PT Harmes Jalesveva.
“Yang ada malah pemohon I belum melunasi atau menyelesaikan biaya administrasi pada saat penyelesaian pembangunan, sehingga PT Harmas Jalesveva belum mempunyai kewajiban untuk membayar denda keterlambatan,” ungkap Wahab.
Dengan fakta tersebut, maka kedua pemohon tidak memenuhi syarat untuk pengajuan permohonan pailit sesuai Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (4) dari Undang Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Pasal 2 ayat (2) berbunyi: Debitur yang mempunyai dua atau Iebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau Iebih kreditornya”.
Sedangkan Pasal 8 ayat (4) berbunyi: “Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi”.
Selain itu, upaya hukum pembatalan perdamaian dilakukan karena Sertifikat Laik Fungsi (SLF) belum ada. Padahal Sertifikat tersebut merupakan poin-poin dalam perjanjian pengesahan perdamaian sebagaimana tercantum dalam Putusan Nomor: SS/Pdt.Sus-PKU/2018/ PN.Niaga. lkt.Pst, tanggal 4 luni 2018.
“Seharusnya jika terjadi sengketa dengan fakta tersebut maka penyelesaiannya adalah melalui pengadilan negeri bukan pengadilan niaga,” ujar Wahab.
“Atas kejadian ini kami juga menghimbau kepada pihak-pihak yang mencoba untuk menguasai asset PT. Harmas lalesveva secara sepihak maka akan menghadapi langkah-langkah hukum baik pidana, perdata dan upaya hukum lainnya yang diperbolehkan menurut undang undang,” ungkap Wahab.
Sebagai informasi, sebelum kasus ini diputuskan PN Niaga Jakarta Pusat, sebelumnya sudah berlangsung perjanjian perdamaian pelaksanaan kewajiban PT. Harmas Jalesveva terhadap para kreditur dengan tidak ada masalah dan kendala.
Dalam kesepakatan tersebut PT. Harmas Jalesveva menjamin 100% terhadap pihak-pihak yang telah membeli dan atau yang telah menghuni aset PT. Hamas Jalesveva.