Wartajakarta.com-Ada kecenderungan menghadapkan agama di satu sisi dengan adat tradisi di sisi lain, dalam bentuk konfliktual. Karena yang satu merasa dihasilkan dari sesuatu yang transenden, berarti ia harus mengatur atau mengatasi sesuatu yang dianggap bersifat duniawi.
Hal itu diungkapkan Achmad Charris Zubair, budayawan Yogyakarta, dalam Webinar bertema “Hubungan Agama dan Adat Tradisi” di Jakarta, Kamis malam, 3 November 2022.
Webinar yang membahas agama, adat tradisi dan budaya itu diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, yang diketuai Denny JA. Pemandu diskusi adalah Elza Peldi Taher dan Anna Ratri.
Achmad Charris Zubair menjelaskan, adat tradisi tidak hanya berhadapan dengan agama, tetapi juga dengan modernitas.
Adat tradisi itu dihasilkan melalui proses yang panjang. Kemudian ada kehidupan baru yang katakanlah lebih berdasarkan nalar empirik, atau nalar praktis.
“Kehidupan baru ini bisa menyelesaikan persoalan-persoalan dengan dinamika yang cukup cepat. Dinamika yang akselerasinya tinggi inilah yang orang akhirnya menyebut itu sebuah modernitas,” kata mantan Ketua Umum Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta itu.
“Tetapi tentu saja, kita tak bisa begitu saja menerima argumen bahwa agama mengatasi kebudayaan atau adat tradisi. Agama yang datang dari sesuatu yang transenden lalu begitu saja mengatur kebudayaan,” tuturnya.
“Atau, modernitas yang dianggap sebagai sesuatu yang baru lalu mengatasi adat tradisi sebagai sesuatu yang lama. Lalu menganggap, seolah yang baru harus menggantikan yang lama,” lanjutnya.
Karena bagaimanapun juga baik agama, adat tradisi, ataupun dinamika memiliki dasar ontologis yang berbeda. Atau keberadaannya, kemunculannya, proses panjangnya itu melalui jalur yang berbeda.
“Sebenarnya ketiganya itu terbukti juga menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan, dan kita sebetulnya saat ini sedang menghadapi persoalan-persoalan seperti itu,” sambung Achmad Charris Zubair.*