Wartajakarta.com-Nurcholish Madjid (Cak Nur), KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Ahmad Syafii Maarif (Buya Syafii) adalah anak kandung era ideologis, tetapi mereka sudah bermetamorfosis ke pasca ideologis. Hal itu dikatakan Prof Dr Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII).
Komaruddin Hidayat menyatakan hal tersebut sebagai pembicara dalam diskusi bertema Pemikiran Islam Cak Nur, Gus Dur dan Buya Syafii. Diskusi itu berlangsung di Jakarta, Kamis malam, 15 Juni 2023.
Diskusi tentang pemikiran Islam yang menghadirkan Komaruddin Hidayat itu diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, yang diketuai Denny JA. Diskusi itu dipandu oleh Elza Peldi Taher dan Swary Utami Dewi.
Menurut Komaruddin, Cak Nur, Gus Dur dan Buya Syafii mengalami era konflik ideologis, misalnya, dalam melawan komunis pada 1965. Hal itu membentuk suatu mental ideologis pada zamannya.
“Tetapi ketiga tokoh ini bisa bermetamorfosis pada pasca ideologis. Masih ideologis, tetapi dia pasca ideologis,” ujar Komaruddin.
“Sehingga mereka tidak hanya bicara pada kelompoknya atau partainya. Bahkan tidak hanya bicara Islam. Tetapi sudah naik,” lanjutnya.
Frase-frase dan idiom mereka adalah kebangsaan, kemanusiaan, kemoderenan, pluralisme. Tiga tokoh itu bertemu di situ. “Artikulasi perjuangan Islam juga harus diwujudkan pada kemanusiaan, kemoderenan,” tutur Komaruddin.
Ketiganya memiliki dorongan pada progress (kemajuan). “Tetapi progress yang ia tawarkan bukan cangkokan dari Barat, tetapi tumbuh dari kesadaran dan kesinambungan historis dalam negeri,” jelasnya.
“Maka ide demokrasi yang muncul dari ketiga tokoh ini bukan demokrasi anak kandung Barat. Mereka membaca demokrasi model Barat, tetapi mereka bukan juru bicara Barat,” tegas Komaruddin.
Mantan Rektor UIN ini juga mengungkapkan, Cak Nur, Gus Dur dan Buya Syafii adalah lokomotif, yang masing-masing menarik gerbong panjang. Kebetulan lokomotif itu punya kesamaan tujuan, visi dan misi.
“Gus Dur tentu lanjutan dan menjaga warisan KH Hasyim Asy’ari. Buya Syafii menjaga warisan dan tradisi dari KH Ahmad Dahlan. Sedangkan Cak Nur unik. Secara intelektual dia pengagum Masyumi, sedangkan secara kultural dia NU,” papar Komaruddin.
“Cak Nur ini berada di tengah-tengah, yang kakinya sebagai penerus Masyumi modernis tentu akrab dengan tradisi Muhammadiyah. Namun sebagai keluarga pesantren, dia juga sangat akrab dengan tradisi NU,” sambungnya.