Wartajakarta.com-Naskah kuno “La Galigo” menjadi warisan abadi orang Bugis yang menurunkan dua tradisi besar. Yakni, tradisi literasi, dan sejarah peradaban serta kebudayaan. Naskah kuno itu ditulis di atas daun lontar dan kertas.
Hal itu diungkapkan Prof. Dr. Nurhayati Rahman, narasumber dalam diskusi di Webinar Obrolan Hati Pena #17 di Jakarta, Minggu (12/12). Sebagai pemandu diskusi adalah Amelia Fitriani dan Anick HT. Diskusi itu diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia, SATUPENA.
Nurhayati menjelaskan, naskah “La Galigo” tersebar di berbagai perpustakaan dan museum baik di Indonesia, luar negeri, serta koleksi-koleksi pribadi. Kolektor terbesar adalah Universitas Leiden, Belanda. Itu berupa koleksi naskah yang belum tersusun jilidannya.
Terdapat 12 jilid naskah salinan tangan Retna Kencana Colliq Pujie, atas kerja samanya dengan Dr. Benyamin Frederik Matthess. Matthess adalah penginjil yang ditugaskan di Makassar. “Nah, 12 jilid inilah yang dikukuhkan oleh UNESCO sebagai Memory of the World tahun 2011,” ujar Nurhayati, yang selama puluhan tahun menggali karya sastra asli Nusantara tersebut.
Menurut Nurhayati, berbagai huruf serta penggunaannya di berbagai teks dan naskah di Sulawesi Selatan memperlihatkan, bagaimana orang di Sulsel mampu menerima dan mengadaptasikan berbagai macam huruf dan memanfaatkannya secara intelektual.
Yakni, untuk menuliskan sejarah, budaya, dan peradabannya ke dalam berbagai naskah. Naskah-naskah ini menggambarkan semangat zamannya. Mulai dari zaman pra-Islam, zaman setelah Islam, dan persentuhannya dengan berbagai budaya di Nusantara dan budaya asing.
Salah satu naskah warisan orang Bugis adalah “La Galigo,” yang merupakan saksi zaman pra-Islam. “Teks-teksnya menggambarkan budaya dan peradaban orang Bugis, yang telah melewati waktu dan ruang yang cukup panjang. Itu kini telah mendapat tempat dalam sastra Nusantara dan pengakuan dunia,” ujar Nurhayati.