Wartajakarta.com- Laporan baru yang dirilis oleh perusahaan pengelola daya global Eaton menunjukkan bahwa lebih dari empat dari lima perusahaan (83%) di Indonesia memandang peningkatan penggunaan energi baru terbarukan (EBT) sebagai prioritas bisnis utama, yang menjadikannnya hal kedua tertinggi dalam agenda mereka. Berbeda dari Indonesia, 53% bisnis di pasar Asia Pasifik (APAC) yang disurvei mengatakan implementasi EBT adalah prioritas mendesak.
Berjudul Masa Depan Pengelolaan Daya di Kawasan Asia-Pasifk, laporan tersebut meneliti tantangan dan peluang dalam pengelolaan daya yang dihadapi oleh dunia bisnis saat mereka menjalani transisi energi di enam pasar APAC yang tumbuh pesat: Indonesia, Australia, Jepang, Singapura, Korea Selatan dan Taiwan.
Transisi energi, biaya, konsumsi disebut sebagai prioritas utama bagi bisnis
Selain meningkatkan penggunaan EBT, biaya dan pengoptimalan energi (87%) dan mengurangi penggunaan energi (70%) dipilih sebagai prioritas langsung utama bagi bisnis di Indonesia. Bisnis menyebutkan penghematan biaya (77%), tujuan keberlanjutan (63%) dan rencana bisnis berkelanjutan (63%) adalah alasan mengapa mereka mengutamakan prioritas tersebut.
Dengan permintaan listrik yang diprediksikan akan naik dua kali lipat di dekade mendatang, ketertarikan Indonesia dalam EBT dan efisiensi energi dipengaruhi oleh komitmen pemerintah terhadap pertumbuhan energi rendah karbon. Indonesia telah menetapkan target EBT sebesar 23% dalam bauran energi di tahun 2025, dan telah membuat rencana untuk menggantikan pembangkit listrik tenaga diesel yang sudah lama dengan pembangkit listrik tenaga surya. Mengadopsi sumber energi bersih serta teknologi efisiensi energi untuk mengoptimalkan dan mengurangi penggunaan energi dapat membantu perusahaan mengurangi emisi karbon mereka untuk mencapai target EBT dan emisi gas rumah kaca di Indonesia.
Bukti dari kedekatan hubungan antara bisnis dan negara terlihat dari tingginya kesadaran akan inisiatif pemerintah terkait penghematan energi di dunia bisnis di Indonesia (97%). Angka tersebut berada di atas persentase rata-rata APAC yaitu 81%. Tingkat partisipasi dunia bisnis yang memahami skema pemerintah tersebut (83%) juga merupakan yang kedua tertinggi di wilayah APAC, setelah Australia.
Perusahaan ingin meningkatkan pengelolaan daya mereka walaupun berada di masa pandemi COVID-19
Hasil dari mengamati dampak COVID-19 terhadap investasi pengelolaan daya di Indonesia, dua dari lima perusahaan melaporkan penurunan atau penundaan investasi, dan menyatakan mengalami kekurangan atau pengalihan dana atau tenaga kerja (86%). Sementara itu, dua dari lima responden juga mengatakan melakukan percepatan atau peningkatan dalam investasi karena pengelolaan daya adalah kunci dari rencana perluasan perusahaan mereka (46%) dan perubahan dalam lingkungan bisnis dibutuhkan untuk transformasi yang lebih cepat (38%). Dampak pandemi yang tidak berimbang pada investasi pengelolaan daya kemungkinan terkait dengan dampak yang tidak sama pada ekonomi Indonesia. Di tengah-tengah perdagangan global yang melemah dan jumlah lockdown, sektor seperti manufaktur menunjukkan penurunan aktivitas sementara ekonomi internet Indonesia yang meluas mengalami pertumbuhan yang dipicu oleh pandemi.
Terlepas dari dampak pandemi yang beragam, mayoritas perusahaan Indonesia (87%) ingin mengimplementasikan solusi pengelolaan daya yang baru dalam satu hingga tiga tahun mendatang, yang menempatkan Indonesia di bawah Australia (90%). Alasan ketertarikan mereka untuk mengadopsi teknologi baru meliputi efektivitas biaya (65%) dan keberlanjutan (58%) dalam pengelolaan daya.
Dunia bisnis bimbang dengan peraturan pemerintah dan industri yang terus berubah
Sehubungan dengan kekuatan dinamis dan lanskap keberlanjutan Indonesia, banyak bisnis di Indonesia mengatakan peraturan pemerintah dan industri yang terus berubah (57%) sebagai tantangan utama. Perusahaan di Indonesia tidak sendiri dalam hal ini, di mana bisnis di Singapura (57%) dan Korea Selatan (53%) menghadapi isu yang sama. Terlepas dari kekhawatiran tersebut, responden masih merasa bahwa perusahaan mereka siap mengatasi perubahan power grid (83%) dan peraturan yang berubah (77%).
Dengan inisiatif baru yang akan dirilis untuk mendukung transisi energi bersih Indonesia, seperti menghentikan penjualan kendaraan bermesin diesel pada 2040 dan membuat peraturan untuk mempermudah penetapan harga listrik dari sumber EBT, kolaborasi antara sektor publik dan swasta penting untuk mencapai tujuan pengembangan keberlanjutan di Indonesia.
Perusahaan di Indonesia memberikan tanggapan positif terhadap pentingnya keberlanjutan yang berkembang. Untuk merealisasikan tujuan tersebut, bisnis harus mempertimbangkan prioritas mereka dengan cermat, bekerja sama lebih dekat lagi dengan mitra strategis, serta mengidentifikasi dan mengimplementasikan teknologi yang dapat mendukung tujuan bisnis dan energi mereka dengan baik, ujar Isabel Chong, Country Manager untuk Singapura, Indonesia dan Malaysia, Eaton. Indonesia memiliki potensi untuk mewujudkan upaya mereka menjadi go green seperti yang ditunjukkan oleh beragam inisiatif dan data dari studi kami. Sebagai mitra dari banyak bisnis di Indonesia dan di wilayah APAC, Eaton berkomitmen untuk membantu perusahaan meningkatkan pengelolaan daya mereka dan merencanakan masa depan yang lebih berkelanjutan dan kuat energi.