Connect with us

Lokawisata

Merayakan Tradisi Jemparingan: Olah-Rasa Panahan Jawa di Museum Layang-Layang Indonesia”

 

WartaJakarta.com-Jakarta
Museum Layang-Layang Indonesia, bekerja sama dengan Paguyuban Trah Hamengku Buwono se-Jabodetabek, menyelenggarakan acara jemparingan, seni panahan tradisional Jawa, pada Sabtu, 16 November 2024. Acara ini diadakan untuk merayakan hari ulang tahun ke-37 Paramita Jaya, bagian dari Asosiasi Museum Indonesia (AMI) Jakarta, serta merupakan bagian dari program publik Yayasan Layang-Layang Indonesia dengan dukungan Dana Indonesiana.

Jemparingan, yang berasal dari tradisi Mataram Yogyakarta sejak era Sri Sultan Hamengku Buwono I, tidak hanya berfungsi sebagai latihan panahan tetapi juga sebagai olah-rasa yang mengajarkan nilai-nilai konsentrasi (sawiji), semangat (greget), percaya diri (sengguh), dan tanggung jawab (ora mingkuh). Tradisi ini menekankan bidikan dengan “mata batin,” di mana panah dilepaskan berdasarkan rasa yakin.

Kolaborasi dalam acara ini melibatkan komunitas Jaluwasi Atma Jogja, Kober Archery Society, serta komunitas PAS Rekadaya, dengan dukungan Kementerian Kebudayaan dan LPDP. Selain mempertunjukkan gaya tradisional, acara ini juga menyajikan gaya Paku Alaman yang lebih modern, memberikan pengalaman unik kepada peserta dan pengunjung.

Museum Layang-Layang Indonesia berharap acara ini tidak hanya melestarikan tradisi, tetapi juga menjadi landasan keberlanjutan museum melalui program kolaborasi dan publiknya. Selamat menikmati seni jemparingan dan ragam program menarik lainnya di museum ini!

Menurut catatan sejarah, jemparingan bermula pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono I sekitar tahun 1757. Saat itu, latihan memanah digunakan sebagai sarana membangun karakter ksatria dalam lingkup pendidikan prajurit di Mataram Yogyakarta.

“Jemparingan diajarkan bukan hanya untuk keterampilan militer, tetapi juga untuk melatih olah batin melalui konsentrasi dan ketenangan hati,” ujar salah satu anggota Paguyuban Trah Hamengku Buwono yang turut hadir dalam acara tersebut.

Berbeda dari panahan modern, jemparingan tradisional menggunakan teknik membidik dengan mata batin. Busur atau gandewa diposisikan horizontal, dan anak panah dilepaskan berdasarkan perasaan, bukan pandangan fisik.

Namun, seiring waktu, gaya panahan ini berkembang menjadi gaya Paku Alaman, yang memadukan teknik tradisional dengan posisi busur vertikal seperti panahan modern.

Pendiri dan Kepala Museum Layang-Layang Indonesia, Endang Ernawati, menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian program publik tahun 2024 yang diinisiasi oleh Yayasan Layang-layang Indonesia.

“Program ini didukung oleh Dana Indonesiana yang dikelola oleh Kementerian Kebudayaan dan LPDP. Kami berharap, kegiatan seperti ini dapat menjadi landasan kuat bagi keberlanjutan Museum Layang-layang Indonesia,” ungkap Endang kepada WartaJakarta,Sabtu(16/11) 2024 di Jakarta,

WartaJakarta.com-Jakarta
Museum Layang-Layang Indonesia, bekerja sama dengan Paguyuban Trah Hamengku Buwono se-Jabodetabek, menyelenggarakan acara jemparingan, seni panahan tradisional Jawa, pada Sabtu, 16 November 2024. Acara ini diadakan untuk merayakan hari ulang tahun ke-37 Paramita Jaya, bagian dari Asosiasi Museum Indonesia (AMI) Jakarta, serta merupakan bagian dari program publik Yayasan Layang-Layang Indonesia dengan dukungan Dana Indonesiana.

Jemparingan, yang berasal dari tradisi Mataram Yogyakarta sejak era Sri Sultan Hamengku Buwono I, tidak hanya berfungsi sebagai latihan panahan tetapi juga sebagai olah-rasa yang mengajarkan nilai-nilai konsentrasi (sawiji), semangat (greget), percaya diri (sengguh), dan tanggung jawab (ora mingkuh). Tradisi ini menekankan bidikan dengan “mata batin,” di mana panah dilepaskan berdasarkan rasa yakin.

Kolaborasi dalam acara ini melibatkan komunitas Jaluwasi Atma Jogja, Kober Archery Society, serta komunitas PAS Rekadaya, dengan dukungan Kementerian Kebudayaan dan LPDP. Selain mempertunjukkan gaya tradisional, acara ini juga menyajikan gaya Paku Alaman yang lebih modern, memberikan pengalaman unik kepada peserta dan pengunjung.

Museum Layang-Layang Indonesia berharap acara ini tidak hanya melestarikan tradisi, tetapi juga menjadi landasan keberlanjutan museum melalui program kolaborasi dan publiknya. Selamat menikmati seni jemparingan dan ragam program menarik lainnya di museum ini!

Menurut catatan sejarah, jemparingan bermula pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono I sekitar tahun 1757. Saat itu, latihan memanah digunakan sebagai sarana membangun karakter ksatria dalam lingkup pendidikan prajurit di Mataram Yogyakarta.

“Jemparingan diajarkan bukan hanya untuk keterampilan militer, tetapi juga untuk melatih olah batin melalui konsentrasi dan ketenangan hati,” ujar salah satu anggota Paguyuban Trah Hamengku Buwono yang turut hadir dalam acara tersebut.

Berbeda dari panahan modern, jemparingan tradisional menggunakan teknik membidik dengan mata batin. Busur atau gandewa diposisikan horizontal, dan anak panah dilepaskan berdasarkan perasaan, bukan pandangan fisik.

Namun, seiring waktu, gaya panahan ini berkembang menjadi gaya Paku Alaman, yang memadukan teknik tradisional dengan posisi busur vertikal seperti panahan modern.

Pendiri dan Kepala Museum Layang-Layang Indonesia, Endang Ernawati, menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian program publik tahun 2024 yang diinisiasi oleh Yayasan Layang-layang Indonesia.

“Program ini didukung oleh Dana Indonesiana yang dikelola oleh Kementerian Kebudayaan dan LPDP. Kami berharap, kegiatan seperti ini dapat menjadi landasan kuat bagi keberlanjutan Museum Layang-layang Indonesia,” ungkap Endang kepada WartaJakarta,Sabtu(16/11) 2024 di Jakarta,

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

More in Lokawisata